Thursday, September 14, 2006

Tentang Kreatifitas
SD, pelajaran menggambar. Entah kenapa dulu di SDku, walaupun sudah ada mata pelajaran tapi pada kenyataannya hari ini kita belajar apa dan besok apa, itu semua terserah guru. Yang ini, pelajaran menggambar, jadwalnya ada 1 kali dalam 1 minggu, tapi mungkin bapak guru menganggap pelajaran ini salah satu yang tidak berguna, jadi beruntung sekali kalau tiba-tiba pak guru mengatakan "Anak-anak, besok bawa peralatan gambar ya". Dan besoknya semua akan bersuka cita lepas dari pelajaran berhitung atau menghapal yang membosankan dan asyik dengan buku gambarnya.

Lain aku. Aku salah satu yang paling benci pelajaran menggambar. Menurutku kemamouan melukiskan sesuatu di atas media gambar itu bukan termasuk hal yang harus diajarkan di sekolah. Kenapa? ya karena aku tidak bisa menggambar, tidak bisa berarti gambarku jelek, jelek berarti nilai menggambarkupun jelek (mungkin 6 atau 7), nilai jelek artinya akan merusak susunan nilai-nilai yang aku peroleh di rapor nantinya, dan yang pasti itu tidak akan membahagiakan orangtuaku. Menggambar itu bakat-bakatan, yang punya baka seni tidak belajarpun pasti gambarnya bagus, lalu yang seperti aku ya tinggal gigit jari dan menyesali kenapa aku tidak punya bakat itu? menyebalkan.

Membaca posting mbak Ines hari ini, ilustrasi bahwa gambar bunga itu tidak selalu angka 0 dikelilingi angka 3, bahwa semua anak punya kedalaman imajinasi dan kemampuan mengekspresikan yang berbeda, dan betapa dulu aku salah satu dari hasil dari "pendidikan yang diseragamkan", yang menjadikanku berpikir bahwa NILAI adalah segalanya, hasil adalah tujuan utama, tanpa menghargai bagaimana menjalani proses untuk mencapai itu semua dan apa filosofi yang didapat dari perjalanan pencarian itu. Betapa berharganya kreatifitas itu, karena kehidupan adalah dinamis, gambar pemandangan tidak selalu matahari pagi diapit 2 gunung, tapi bisa sungai yang mengalir, halaman depan rumah kita atau suasana di pasar. Hidup lebih dari sekedar digit 0 atau 1, tapi di tengahnya selalu ada kemungkinan yang luar biasa banyaknya, dan intuisi kita harus dilatih sedari kecil untuk menghadapi setiap kemungkinan. Itulah kenapa kita harus punya kreatifitas.
posted by Unknown @ 11:04 PM   2 comments

Monday, September 11, 2006

this is my inspiration
posted by Unknown @ 3:12 AM   0 comments

1. HS Law in Indonesia

Now I’ve got the simplest and easiest guidelines how to start Home Schooling (HS). Taken from www.sarahsellers.co.uk, owned and moderated by a smart mommy and certainly also applying HS. You can download it here.

Okay, let’s taste the appetizer!

In the top lines I found this:

Homeschooling laws vary all over the world! It's important to find out where YOU are & what the laws are regarding homeschooling - don't go on hearsay - find out for yourself, that way you won't run into any nasty surprises.


Sounds scary but I continued by contact my beloved Google to find how is exactly HS in Indonesia. Surprisingly many references found, written in Indonesian, convince me that I’m not the only one struggle in get to know about HS, many Indonesian already involved! In Serpong (West Java), there is community of homeschooler called Indonesian BEliever Homeschooling Community. In Bandung and Karawang people already started it. In As Sunah Mailing List, members discussed about this (just found the archive and too bad to know just now as I’m not one of the member).

-----------------------
[original post from As Sunah Mailing List, thanks for the author!]

Fatkhurahman <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Assalaamu Alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Dengan segala kerendahan hati, saya ingin berbagi pengalaman tentang
penyelenggaraan Sekolah rumah.

Sebetulnya kebingungan yang ikhwah hadapi untuk menyelenggarakan Sekolah
rumah, sama dengan yang kami hadapi pada masa yang lampau, Kami bingung, bagaimana cara memulainya, Tapi alhamdulillah Allah memberikan jalan keluar atas kebingungan kami tersebut.
Walaupun kami sudah tahu bahwa sekolah rumah itu diakui, tapi kadang-kadang
juga ada sedikit kekhawatiran. Untuk lebih memantapkan hati kami maka kami juga mengikuti seminar nasional yang diadalak Diknas yang dipandu oleh Kak seto, sehingga tambah mantap
untuk kami untuk mlanjutkan program Sekolah rumah ini.

Sebetulnya, tidak terlalu sulit untuk memulainya insya Alloh, tapi karena kurang informasi maka terasa gamang, walaupun keinginan sangat besar.

Sistim Sekolah rumah ini diakui oleh Diknas, bahkan ada dirjennya yaitu Dirjen Pendidikan Luar sekolah (PLS)

Program PLS terdiri dari dan program ini adalah gratis (cuma-cuma)
1. Program Pemberantasan buta huruf
Target : Orang dewasa
2. Program Kejar Paket A (SD), Paket B (SMP), C (SMA), Paket D (D2)
Target : - Anak usia sekolah sampai dewasa dperuntukkan untuk yag putus sekolah/daerah terpencil/pekerja usia dini/pesantren/anak jalanan/nelayan/PSK dll
3. Program PAUD (pendidikan usia Dini)
Target : Untuk anak usia TK yang tidak bisa masuk TK
4. Program Life Skill : Untuk Remaja dan dewasa yang menginginkan ketrampilan yang produktif.

Untuk program Sekolah rumah; menginduk pada pragram kejar paket A atau B
atau C atau D
Untuk program sekolah rumah setingkat SD menginduk pada program kejar paket A.

Standar penyelenggaraan Paket A adalah sebagai berikut :
1. Kumpulkan peserta Didik 15~20 orang
2. Penyelenggara 1 orang
3. Tutor 2 orang (siapa aja yang bisa/ tidak perlu S1)
4. Laporkan ke Dik nas kecamatan atau menginduk pada PKBM yang sudah ada. PKBM adalah Program kegiatan belajar masyarakat, yang dikelola oleh para "relawan"
5. Dana akan turun untuk, penyelenggara, tutor, siswa
6. Buku panduan mata pelajaran diberikan secara "cuma-cuma"
7. Ujian Negara-->ijazah negara.
8. Tempat belajar --> dimana saja boleh bahkan dikolong jembatan juga boleh, pakai tiker saja juga boleh.
9. Seragam apa saja boleh

Itu standarnya, Jadi program paket itu ditujukan bagi mereka yang karena alasan tertentu tidak dapat masuk ke sekolah formal.
jadi penyelenggaraan program paket itu disesuaikan dengan tujuan dari pihak penyelnggara.

Untuk sekolah rumah (Home schooling) masuk kepada program paket ini, sehingga ijazah yang diberikan adalah ijazah paket setara dan dapat melanjutkan kejenjang sekolah berikutnya termasuk sekolah tinggi berdasarkan UU sisdinas no 20.

Untuk cara memulai program sekolah rumah, ada beberapa cara (berdasarkan pengalaman)

A. Swadaya
1. Mulai saja, kelas anak disesuaikan dengan usia
2. Tutor dari orang tua atau yang ditunjuk.
3. Pakai buku panduan Paket A /B/C atau juga pakai buku yang banyak di toko
4. Waktu belajar terserah kita, anak belajar minimal 2 x 3 jam
5. Ujian semester adakan sendiri
6. rapot : buat sendiri; pakai lembaran nilai juga boleh
7. Nanti kalau sudah kelas 6 daftarka ke penyelenggara ujian negara
8. bila anak dapa menyelesaikan soal ujian negara dengan benar, anak lulus, mendapat Ijazah
9. Ujian diselenggarakan tiap tahun sekitar bulan september

B. dengan dana bantuan dari pemerintah
1. Mulai saja, kelas anak disesuaikan usianya,
2. Waktu kelas 4 daftarkan ke PKBM setempat untuk di data, dan akan dapat bantuan sampai kelas 6

C. Penyelenggaraan sekolah rumah tidak hanya setara SD saja bahkan sampai
SMA pun ada programnya

D. Bagi ikhwan-ikhwan yang kesulitan untuk mendaftarkan ke PKBM setempat,
bisa menginduk sementara ke karawang, sampai bisa mendapatkan jalur di
diknas setempat.

Tentang Fokus pembelajaran yang lainnya terserah kita

Contoh :

di "K" fokus pembelajaran pada Dirosah Arobiyyah dan Tahfidz al quran,
Aqidah dan manhaj salaf
Sistem pembelajaran Boarding school dari senin sampai jum'at, Sabtu dan ahad
Libur

di kota "C" fokus pembelajaran "sama" sistem belajar : senin - jumat belajar
di rumah, sabtu & minggu boarding school dll

Kesimpulannya :
Sistem penyelenggaraan bebas, terserah kita, yang penting anak didik dapat
lulus ujian pada saat ujian negara. Namun untuk lulus ujian negara tersebut
tentunya dengan proses belajar yang disiplin Insya Allah.

Mungkin ini dulu yang dapat dipaparkan, kurang lebihnya mohon maaf kalau ada
hal yang kurang berkenan,

Wallahu a'lam

Abu samhan Fatkhurohman (KARAWANG)

posted by Unknown @ 1:53 AM   4 comments

Bersekolah Belajar di Rumah
(from http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=246710&kat_id=13&kat_id1=&kat_id2=)

Belajar di rumah lebih relaks dibandingkan dengan belajar di sekolah. Bagaimana hasilnya?

Hampir seratus tahun lampau Rabindranath Tagore, peraih Nobel Sastra tahun 1913, menyelorohkan ucapan bernada pahit itu. ''Sekolah adalah siksaan tak tertahankan.'' Dan Tagore tak keliru.

Di Indonesia, mungkin juga tempat lainnya, serapah Tagore telah mewujud sejak lama. Ketika siksaan seolah tak tertahankan, maka sekolah dan 'penjara' bagai dua entitas yang sulit dibedakan.

Tapi siapa bilang sekolah selamanya harus seperti 'penjara'? Bagi Ratna Megawangi 'penjara' itu harus dirubuhkan. Tak tega melihat anaknya stres akibat banyaknya pekerjaan rumah, dan buntutnya jadi kehilangan semangat belajar, Ratna mengambil langkah berani.

Dikabulkannya keinginan si anak, yang saat itu kelas satu SMA, keluar dari sekolah. Lantas, Ratna pun membangun sendiri 'sekolah' di rumahnya yang asri. Didatangkannya guru privat jempolan.

Sejak saat itu si anak belajar di rumah. Tak lagi ada mata pelajaran yang padat, penyajian materi yang membosankan, atau bangku kelas yang keras. Kini ia bisa berselonjor di atas karpet, sambil menyimak uraian matematika, fisika, atau Bahasa Inggris bak dendangan dawai yang menenangkan.

Dan perubahan itu tampak jelas. ''Ia tampak bahagia sekali, gairah belajarnya malah jadi menggebu-gebu. Anehnya, jika sewaktu di sekolah ia tidak mahir berbahasa Inggris, kini setelah belajar di rumah ia fasih berbahasa Inggris dalam tempo cepat,'' tutur Ratna yang istri Menkominfo Sofyan Jalil itu, Kamis (5/5).

Seperti Ratna, Yayah Komariah SPd, seorang mantan guru SD, juga mengambil langkah berani itu. Rumahnya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kini tak lagi sekadar menjadi tempat tidur atau makan bagi anak-anaknya, tapi sekaligus tempat belajar.

Setiap pagi, empat anaknya (kelas 1 dan 2 SD serta setingkat TK) tak berangkat ke sekolah seperti lazimnya anak-anak seusia mereka. Alih-alih berpanas-panasan ikut upacara bendera, mereka malah berselonjor bebas di ruang tengah rumahnya, sembari menyimak ocehan sang guru. Pengajarnya? Tak lain sang ibu mereka, Yayah, yang berpengalaman jadi guru SD selama 10 tahun.

Bagaimana Yayah menyelenggarakan pendidikan di rumahnya? Kurikulumnya, kata Yayah, tetap berbasis kurikulum nasional, namun dengan inovasi di sana-sini, terutama porsi praktik dan mobilitas yang diperbanyak. Betapa cerianya Yayah dan anak-anaknya.

Untuk mengajarkan materi transportasi, misalnya, si anak --beserta enam anak lain tetangganya-- harus turun langsung ke jalan. Semua alat transportasi dijajal, dari ojek motor, kereta api, hingga busway.

Lantas mereka diminta menceritakan pengalamannya itu dalam bentuk narasi, sekaligus belajar Bahasa Indonesia. Mereka disuruh menghitung jumlah roda bus Transjakarta, sekaligus belajar matematika.

''Kegiatan belajar dibuat fun. Mereka juga langsung bersentuhan dengan realitas, sehingga bukan melulu teori. Ini membuat mereka lebih ceria dan menjadi lebih kreatif. Potensinya mereka bisa dimunculkan,'' tutur Yayah.

Bukan cuma Ratna atau Yayah, psikolog kondang, Dr Seto Mulyadi, termasuk yang setuju betul terhadap metode homeschooling alias belajar di rumah itu. Beberapa waktu ini, anak Seto yang setingkat SMA, tak lagi belajar di sekolah umum melainkan menjadi homescholler. ''Sekarang dia malah akan mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Jakarta,'' paparnya.

Bangkitkan Potensi
Inilah tren pendidikan anyar di Indonesia, yang boleh dibilang antitesis terhadap metode pendidikan konvensional yang terbilang 'gagal mencerahkan'. Seringkali anak malah gagal mengembangkan potensinya.

''Berapa banyak anak yang sewaktu kecil tampak semangat belajar, namun ketika masuk ke sekolah malah jadi pemalas dan pemalu. Padahal mereka punya hak untuk berkembang,'' tutur Seto di sela-sela pendeklarasian Asosiasi Homeschooling dan Pendidikan Alternatif (ASAH PENA) di Jakarta, Kamis (5/5).

Keluhan terhadap sistem pendidikan di negeri ini memang seabrek. Jam mata pelajaran yang melimpah, adalah salah satu alasan murid menjadi luar biasa jenuh. Jika UNESCO menyaratkan 800-900 jam pelajaran per tahun untuk SD, Indonesia malah memberlakukan 1.400-an jam per tahun. Sekolah tak lagi menyenangkan.

Belum lagi cara penyampaian yang kurang kreatif, otoriter, atau pekerjaan rumah yang segudang. ''Pembelajaran otoriter (murid harus bisa semua pelajaran) seringkali membuat sekolah menjadi beban. Padahal, jangan sampai anak layu sebelum berkembang,'' papar Ratna.

Di homeschooling, pendekatan yang diberikan adalah sebaliknya. Siswa tidak dipaksa harus mampu di satu mata pelajaran, seperti matematika, misalnya. Jika dia berbakat di bidang lain, seperti bahasa, maka itulah yang harus dikembangkan.

Setiap anak, kata Seto, unik. Karena itulah, di homeschooling yang diterapkan adalah pendekatan individual. ''Ini justru lebih dapat membangunkan potensi mereka. Ini kelak membuat konsep diri yang positif pada si anak,'' paparnya.

Seto, yang melakukan homeschooling, menyatakan bahwa materi kurikulum seratus persen mengacu pada kurikulum nasional yang mencakup lima materi. Yakni iptek, kewarganegaraan, keolahragaan, etika, dan estetika. ''Hanya, metodenya berbeda. Sekolah dibuat seperti tamasya yang menyenangkan,'' kata dia.

Saat ini Seto tengah berjuang agar Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengeluarkan standar minimal homeschooling di Indonesia. Maksudnya supaya metode ini memperoleh pengakuan yang lebih besar.

Menurut Seto, program homeschooling bukanlah barang baru. Banyak tokoh dunia yang berangkat dari model pendidikan seperti begini. Sebut saja mantan presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln dan Theodore Roosevelt, Alexander Graham Bell (penemu telepon), atau pahlawan nasional KH Agus Salim. Siapa bilang sekolah formal jalan satu-satunya buat pintar? n

Ikhtisar
- Daripada anak tersiksa di sekolah, orang tua menyilakan anaknya berhenti bersekolah.
- Dengan bimbingan orang tua, anak belajar di rumah dengan materi berdasarkan kurikulum nasional.
- Ratna Megawati dan Seto Mulyadi termasuk orang tua yang mengajar anaknya di rumah.
- Murid sekolah rumah boleh ikut ujian persamaan.

Orang Tua Harus Kompeten

Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas, Ella Yulailawati, homeschooling sudah diatur dalam UU Sisdiknas, dan dikategorikan dalam jenis pendidikan informal atau nonformal. Peserta, menurut dia, dapat mengikuti ujian kesetaraan lewat ujian paket A, B, atau C.

Hanya, menurut dia, perlu ada verifikasi apakah sang pengajar benar-benar kompeten untuk menggantikan materi belajar di sekolah biasa. Selain itu, Depdiknas juga perlu tahu komitmen si orang tua untuk dapat menyajikan pendidikan berkesinambungan buat anaknya (letter of comitment).

Hingga akhirnya mengikuti ujian keseteraan, hasil pendidikan si anak perlu dilaporkan secara rutin kepada dinas pendidikan setempat. ''Kita sedang buat aturan petunjuk pelaksanaannya, termasuk supaya si anak tidak perlu ikut kegiatan belajar mengajar di kejar paket A, B, dan C, seperti aturan saat ini,'' kata Ella.

Meski mengandung sejumlah keunggulan, menurut Ella, homeschooling juga memiliki beberapa kelemahan. ''Dengan belajar di sekolah umum, kita bertemua banyak orang dan realitas sesungguhnya. Itu unik, dan si anak diajarkan untuk berkompetisi sejak awal,'' paparnya. n
posted by Unknown @ 1:44 AM   0 comments

      Member of family:  

September 2006 |

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

 

Free Shoutbox Technology Pioneer